Seandainya tidak ada hari Minggu, mungkin cerita Supriyono (38) tidak pernah menjadi Headline sebuah koran ibukota. Seandainya, biaya rumah sakit bisa gratis seperti yang dikatakan seorang SBY, cerita Supriyono dan anak bungsunya, Khairunnisa (3), tidak akan pernah terjadi.
Ah, seandainya biaya pemakaman dan harga kain kafan, semurah kita membeli kerupuk, tidak akan ada Khairunnisa-Khairunnisa lainnya disini. Seandainya, dan seandainya Supriyono tahu ini hanyalah mimpi tidur semalam, ia masih bisa mengajak Khairunnisa dan kakaknya, Muriski Saleh (6), jalan-jalan ke sebuah taman.
Minggu pagi (5/6) memang bukan hari yang indah bagi Supriyono. Setelah lelah mencari sampah seharian, di bawah kolong rel kereta api Cikini, Supriyono terbangun. Ada yang beda di pagi itu, Khairunnisa terlihat nyaman tidur di dalam gerobaknya. Namun, wajahnya yang memutih membuat Supriyono curiga. Ia pun berusaha membangunkan anak bungsunya itu.
Melihat anaknya terbujur kaku. Pikiran, Supriyono melayang, beberapa waktu lalu ia tak jadi membawa Khairunnisa ke rumah sakit. Padahal, saat itu Khairunnisa demam tinggi. Karena uang yang tersisa di kantong cuma Rp 5 ribu, Supriyono cuma berdoa agar anaknya sembuh sendiri. "Saya cuma sekali bawa Khairunnisa ke puskemas, Saya tak punya uang untuk berobat lagi. Saya memilung karud, gelas dan botol plastik. Penghasilan saya hanya Rp 10 ribu sehari. Saat itu uang saya tinggal Rp 5 ribu. Jika saya berobat, anak saya satu lagi mungkin tidak akan makan," pikir Supriyono.
Belum selesai pikirannya melayang. Supriyono kembali menangis. Duit di saku cuma Rp 6 ribu. Tak mungkin untu membeli kain kafan, menyewa ambulans dan biaya pemakaman. Sementara itu
Khaerunisa masih terbaring di gerobak.
Namun, kali ini ia tak mau mengecewakan anak gadisnya itu. "Bapak akan buat pemakaman seperti orang lainnya buatmu nak," ucap Supriyono dalam hati.
Ia pun langsung mengajak Muriski berjalan membawa gerobok berisi jenazah Khairunnisa ke Stasiun Tebet. Naik kereta api, Supriyono berniat menguburkan Khairunnisa di kampung pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.
Dengan bermodalkan sarung lusuh, Supriyono membungkus jenazah Khairunnisa. Dengan kaus warna putih yang biasa ia pakai, Supri menutupi kepala Khaerunnisa.
Namun, Kisah sedih Supriyono belum selesai disini. Begitu Supriyono masuk ke stasiun, orang-orang yang ada di stasiun langsung mengerubunginya. Ia dicurigai telah berbuat yang tidak-tidak pada Khairunnisa. Akhirnya, ia pun digelandang ke Polsek Tebet bersama anaknya Muriski.
Terpaksa Supriyono meladeni pertanyaan-pertanyaan aneh yang dilayangkan polisi. Ia tidak mengerti, kenapa polisi tidak ada yang bertanya apa yang dapat mereka bantu kepadanya. Seandainya mereka semua itu semua bisa membantu. Bukannya mengirimkan Supriyono ke RSCM.
Di RSCM cerita Supriyono dan Khairunnisa terus berlanjut. Dengan alasan otopsi, pihak RSCM mau menahan Khairunnisa. Mendengar itu, Supriyono marah, ia tidak mau anaknya dibelah-belah hanya untuk kepentingan medis. Ia pun ngotot membawa Khairunnisa keluar.
Hingga Pukul 16.00 WIB, Supriyono baru bisa mengeluarkan Khairunnisa. Lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans. Supri dan Muriski dan terpaksa berjalan kaki sambil menggendong jenazah Khairunnisa.
Sepanjang jalan, warga yang iba memberikan uang sekedarnya untuk ongkos perjalan ke Bogor. Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum dan makanan sebagai bekal Supri dan Muriski ke Bogor.
Hingga kini aku tidak pernah tahu, apakah Supri dan Muriski berhasil memakamkan ke Khairunnisa ke Bogor. Masih berlanjutkah kisah sedih ini? Jujur, aku tak mau cerita ini bersambung , baik bagi Supri atau ribuan orang-orang miskin lainnya yang ada di sini. Cukup sudah Khairunnisa, jangan ada yang lainnya.
Sumber: situslakalaka
Posting Komentar